SYAR’U
MAN QABLANA
Makalah Ini Ditulis Guna Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: Ustadz Fajrun
Mustaqim,
Oleh : Shobrina Jamila
NIM : 017.012.0295
PROGRAM DIRASAH ISLAMIYAH JURUSAN
FIKIH DAN USHUL FIKIH
MA’HAD ALY HIDAYATURRAHMAN
SRAGEN
2018
I. PENDAHULUAN
Manusia diturunkan ke bumi oleh Alloh dan juga
diciptakan oleh Alloh hanya untuk beribadah kepada-Nya. Alloh menurunkan
syari’at Islam melalui perantara para Rasul-Nya. Syari’at yang dibawa Nabi
Muhammad dalam hal aqidah sama dengan syari’at yang dibawa oleh nabi-nabi
sebelumya yaitu mentauhidkan Alloh Ta’ala. Akan tetapi dalam masalah fiqih ada
yang berbeda dari syari’at sebelumnya. Syari’at sebelum umat Nabi Muhammad
disebut juga syar’u man qablana.
Dalam syari’at Islam terdapat
dalil-dalil yang disepakati dan juga dalil-dalil yang diperselisihkan. Dalil
yang disepakati oleh para ulama’ yaitu Al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas.
Sedangkan dalil yang diperselisihkan oleh para ulama’ yaitu istihsan, maslahah
mursalah, ‘urf, syar’u man qablana, madzhab shahabi, sad
adz-dzari’ah dan istishab. Syar’u man qablana termasuk dalil
yang diperselisihkan oleh para ulama’.
Syari’at Nabi Muhammad atau syari’at Islam adalah syari’at yang paling
sempurna. Namun masih menjadi pertanyaan apakah syari’at sebelum kita tetap
menjadi hujjah dan masih berlaku bagi kita ataukah tidak ? Karena ada sebagian
syari’at yang sama dari umat sebelum kita.
Kita masih perlu penjelasan yang
lebih jelas tentang syar’u man qablana. Dalam makalah ini penulis akan
membahas apa itu syar’u man qablana ? Ada berapa pembagiannya ?
Bagaimana kehujjahannya sebagai dalil dalam syari’at Islam ?
II. PEMBAHASAN
1. DEFINISI SYAR’U MAN QABLANA
a. Secara Etimologi
Syar’u
man qablana tersusun dari kata syar’u yang berarti syari’at, man
qablana berarti umat sebelum kita.
b. Secara Terminologi
Syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyari’atkan oleh
Alloh kepada umat-umat sebelum kita melalui perantara nabi-nabi-Nya. Seperti
Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Dawud dan Nabi Isa ‘alaihimussalam.[1]
Menurut Muhammad bin Musthafa, syar’u man qablana yaitu syari’at yang
diceritakan oleh Alloh azza wa jalla atau dikabarkan oleh Rasululloh
tanpa mengingkarinya, sebelum ada yang
menasakhnya.[2]
2. PEMBAGIAN SYAR’U MAN QABLANA
Syar’u man qablana
dibagi menjadi 2, yaitu[3]
:
1. Setiap hukum syari’at dari umat terdahulu namun tidak disebutkan
dalam al-Qur’an maupun sunnah. Ulama’ sepakat ini bukan termasuk dari syari’at
kita.
2. Setiap hukum syari’at dari umat terdahulu yang disebutkan di
dalam al-Qur’an dan sunnah. Ini dibagi menjadi 3 macam :
a. Hukum syari’at yang sudah dinasakh dalam syari’at kita. ulama’
juga bersepakat ini bukanlah termasuk dari syari’at kita. Contoh :
وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ وَمِنَ
الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ
ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ
بِبَغْيِهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ (الانعام :١٤٦)
Maka haram setiap
yang memiliki kuku, dan setiap yang memiliki cakar dari jenis burung dan yang
punya kuku dari jenis binatang ternak seperti unta, angsa dan itik. Haram juga
lemak yang ada di perut atau usus. Syari’at kita menasakh hal tersebut yang
terdapat dalam surat al-An’am :145. Contoh yang lain yaitu pengharaman ghanimah
(harta rampasan yang diambil dari musuh karena sebab perang), dan hal tersebut
dihalalkan dalam syari’at kita sebagaimana sabda Rasululloh : (أحلت لي الغنائم ولم
تحل لأحد قبلي). Contoh lainnya yaitu membunuh dirinya sendiri sebagai bentuk
taubat, memotong pakaian yang terkena najis untuk menyucikannya. Contoh itu
semua telah dihapus dalam syari’at kita.
b. Hukum syari’at yang ditetapkan dalam syari’at kita. Maka ini
termasuk syari’at kita. Contoh : puasa sebagaimana firman Alloh dalam surat
al-Baqarah : 183. Menyembelih qurban sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi
Ibrahim.
c. Hukum syari’at yang diceritakan oleh Alloh dalam al-Qur’an atau
disebutkan Rasululloh. Syari’at ini tidak diingkari dan tidak juga ditetapkan
sebagai syari’at kita. Seperti syari’at qishas kaum Yahudi yang terdapat dalam
surat al-Maidah : 45. Syari’at pembagian jatah minum antara Nabi Sholeh dengan
kaumnya yang terdapat dalam surat al-Qomar :28.
3. PENDAPAT PARA ULAMA’ MENGENAI SYAR’U MAN QABLANA
Setiap Rasul yang datang
belakangan, di samping bertugas membawa syari’at yang baru untuk umatnya, juga
melakukan semacam koreksi (penyempurnaan) dan pembatalan syari’at sebelumnya
yang tidak diberlakukan lagi bagi umatnya. Hal ini berarti bahwa apa yang harus
dijalankan umatnya, di antaranya ada yang sama dengan syari’at umat sebelumnya
dan ada ketentuan syari’at yang baru sama sekali.[4]
Nabi Muhammad sampai usia 40
tahun belum menerima risalah dari Alloh untuk diberlakukan bagi umatnya. Selama
menjelang menerima risalah itu, apakah beliau beramal mengikuti syari’at
sebelumnya atau tidak ? Dalam hal ini ulama’ ushul berbeda pendapat, yaitu :
1. sebagian ulama’ termasuk Abu Husein al-Bashri, berpendapat bahwa
Nabi Muhammad tidak pernah mengikuti syari’at manapun dari syari’at nabi-nabi
sebelumnya ketika beliau menerima wahyu. Alasannya karena sekiranya Nabi
Muhammad beramal dengan salah stu syari’at yang dibawa nabi dan rasul
sebelumnya tentu akan ada penukilan dari beliau dan akan dikenal luas (populer)
tentang beramal dengan syari’at itu, serta Nabi Muhammad sendiri akan bergabung
dan berbaur sesama umat yang menjalankan syari’at tersebut. Hal yang demikian
sama sekali tidak pernah dinukilkan , baik dari Nabi Muhammad sendiri maupun
dari salah seorang umat yang syari’atnya diikuti oleh Nabi Muhammad.
2. Sebagian ulama’ lain berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti
salah satu syari’at yang dibawa oleh nabi dan rasul sebelumnya menjelang beliau
menerima risalah. Alasannya ialah bahwa Nabi Muhammad sebelum menerima risalah
telah thawaf di Baitullah, biasa makan daging kurban. Hal ini bukanlah suatu
amalan yang dapat ditetapkan dengan akal. Dengan demikian mesti ada petunjuk
wahyu yang diikuti beliau, yaitu syari’at dri nabi dan rasul terdahulu
(sebelumnya).
Di kalangan ulama’ yang menyatakan
bahwa Nabi Muhammad mengikuti suatu syari’at sebelumnya berbeda pendapat dalam
hal syari’at nabi yang diikutinya itu :
a. ada yang menyatakan beliau mengikuti syari’at Nabi Nuh dengan
alasan bahwa Nabi Nuh adalah nabi yang paling awal disebut membawa syari’at,
sebagaimana yang terdapat dalam surat as-Syura’ : 13.
b. Ada juga yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad mengikuti syari’at
Nabi Ibrahim, karena Nabi Ibrahim adalah yang mengasaskan agama Islam
sebagaimana firman Alloh dalam surat Ali Imran : 67. Juga terdapat suruhan
untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim, dalam surat Ali Imran : 95.
c. Ada juga yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti syari’at
Nabi Musa, karena Nabi Musa adalah yang pertama disebut sebagai pembawa kitab.
d. Ada juga yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti syari’at
Nabi Isa, karena syari’at Nabi Isa itulah yang paling dekat kepada masa Nabi
Muhammad, sekaligus mengoreksi syari’at sebelumnya.
3. Pendapat ulama’ yang bersikap tawaqquf, dalam arti tidak
menentukan sikap tentang apakah nabi menjalankan syari’at yang dibawa nabi dan
rasul sebelumnya atau tidak, meskipun ada kemungkinan masih berlakunya syari’at
lama tersebut. Pendapat ini adalah yang terpilih menurut al-Amidi dan Qadhi Abdul
Jabbar dan ulama’ lain yang sependapat (muhaqqiq).[5]
Keterangan tentang keharusan mengikuti ajaran para Nabi dan kesatuan
syari’at samawi hanyalah terbatas pada masalah yang menyangkut dasar-dasar
agama (ushuluddin) seperti pengesaan Tuhan (tauhid), kepada malaikat, hari
kiamat dan hari bangkit. Kami cenderung untuk mengatakan bahwa syari’at umat
terdahulu seharusnya tidak menjadi topik pembahasan yang menimbulkan perselisihan
pendapat ulama’. Sebab setiap perkara yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan
disebutkan oleh hadits sebagai hukum syar’i yang berlaku khusus untuk sebagian
umat masa lampau, pastilah didukung oleh adanya dalil yang menunjukkan
kekhususan itu. Seperti yang terdapat dalam surat al-An’am ayat 146, atau ada
dalil yang menunjukkan tetap berlakunya ketentuan hukum itu yang bersifat
universal (umum) untuk segala zaman, seperti ayat tentang qishas.[6]
4. KEHUJJAHAN SYAR’U MAN QABLANA
Ulama’ berbeda pendapat dalam
masalah kehujjahan syar’u man qablana. Menurut Jumhur Hanafiyyah, Malikiyyah,
dan sebagian Syafi’iyyah dan Imam Ahmad dalam riwayat yang rojih mengatakan bahwa:
benar syar’u man qablana itu menjadi syari’at kita atau berlaku juga
bagi kita. Syariat terdahulu tersebut disampaikan melalui perantara wahyu yang
dibawa oleh Nabi Muhammad, bukan didapatkan dari kitab-kitab mereka yang sudah
dirubah-rubah. Maka dari itu bagi mukallaf wajib mengamalkannya dan
mengikutinya. Sebagaimana pendapat Hanafiyah bahwa membunuh dzimmi itu
balasannya sama dengan membunuh seorang muslim, mereka menetapkan hukum
tersebut berdasarkan surat al-Maidah : 45.[7]
Menurut pendapat sebagian
dari Syafi’iyyah yang rojih menurut mereka, dan menurut Asya’irah, Mu’tazilah
dan Syi’ah bahwa syar’u man qablana bukan termasuk syari’at kita. Jadi
syari’at sebelum kita tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan suatu hukum.[8]
Alasan mereka mengemukakan
pendapat seperti itu. Golongan (pendapat) yang pertama menggunakan hujjah :
bahwa syari’at mereka juga termasuk syari’at kita yang d iturunkan oleh Alloh sebelum ada dalil yang menghapus
syari’at mereka. Jadi kita wajib mengamalkan syar’u man qablana.
Sebagaimana firman Alloh Ta’ala : “أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ” (al-An’am : 90), begitu juga firman-Nya dalam surat an-Nahl
:123. Terdapat juga dalam surat as-Syura ayat 13 : “شَرَعَ لَكُمْ مِنَ
الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا
بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا
فِيهِ”. Sungguh Ibnu Abbas ketika membaca surat
Shad ayat 24 dan surat al-An’am ayat 90 beliau bersujud.
Ulama’
mengambil dalil bahwa wajibnya mengqadha’ sholat fardhu itu berdasarkan hadits
dari Nabi : “ من نام عن صلاة أو نسيها، فليصلها إذا ذكرها”
sebagaimana firman Alloh dalam surat Thaha ayat 14 : (وَأَقِمِ الصَّلَاةَ
لِذِكْرِي). Ayat tersebut
perkataan Nabi Musa. Nabi Muhammad merujuk ke kitab Taurat dalam masalah
rajamnya Yahudi yang berzina dan ia muhshon.
Para fuqoha’ mengambil dalil
bolehnya membagi harta orang yang bekerja sama dengan cara muhaya’ah
zamaniyah (mengganti pengambilan manfaat dengan sesuatu dalam waktu tertentu).
Sebagaimana firman Alloh Ta’ala dalam surat al-Qamar ayat 18, seperti
syari’atnya Nabi Sholeh. Mereka juga mengambil dalil bolehnya ju’alah
(janji memberikan hadiah tertentu atas pekerjaannya). Sebagaimana
kisahnya Nabi Yusuf dalam surat Yusuf : 72. Contoh lainnya Hanabilah mengambil
hujjah bolehnya menjadikan jasa sebagai mahar dalam surat al-Qashash ayat 27,
syari’atnya Nabi Syu’aib.
Golongan (pendapat) yang kedua atau yang menolak
mengambil hujjah dalam surat Al-Maidah : 48 (لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ
شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا). Artinya dari ayat
tersebut adalah Alloh menjadikan syari’at tersendiri bagi setiap umat-Nya.
Mereka berkata : syari’at kita itu sebagai nasakh syari’at yang terdahulu
secara ijma’, kecuali dalam syari’at kita ada dalil yang menetapkannya.[9]
Sebagai jawaban dari
pendapat yang menolak yaitu bahwa syari’at kita sebagai nasakh itu ketika
berbeda saja. Karena sesungguhnya al-Qur’an menceritakan kepada kita hukum
syar’i yang terdahulu. Adapun jika ada syari’at yang didiamkan tanpa ada nasakh
maka ia termasuk juga syari’at kita, karena ia itu termasuk hukum ilahi yang
disampaikan oleh Rasululloh kepada kita. Al-Qur’an juga membenarkan yang ada di
tangan-tangan mereka seperti Taurat dan Injil, dengan dalil ditetapkannya
qishas dan had zina dan pencuri, dll. Kebanyakan para penulis merojihkan
pendapat yang pertama.[10]
Kita tidaklah diperintahkan untuk melaksanakan
syari’at tersebut meskipun boleh mengambil faedah darinya, selama tidak ada
sedikitpun pembicaraan tentang masalah tersebut dalam kitab maupun sunnah
terlebih lagi apabila dalam kitab dan sunnah, terdapat ajaran yang bertentangan,
maka berarti kita diperintahkan untuk tidak mengikutinya.
Adapun jika syar’u man qablana ada dalam
syari’at Islam, maka berarti wajib diikuti bukan karena ia merupakan syar’u
man qablana, tapi diwajibkan karena al-Qur’an dan sunnah. Puasa misalnya,
diwajibkan atas orang-orang sebelum kita, meskipun caranya tidak diketahui dan
Alloh juga mewajibkan terhadap kita.[11]
Berdasarkan istiqra’ (penelitian) terhadap
nash-nash Al-Qur’an maupun hadits, ternyata tidak ditemukan satu nash pun yang
mengangkat cerita umat terdahulu tanpa dilengkapi dengan ketentuan hukum yang
terkandung dalam cerita itu khusus atau umum. Jika memang demikian halnya, maka
perselisihan ulama’ tersebut seharusnya tidak terjadi. Sebab syari’at terdahulu
jika ada dalil yang menerangkan berlaku khusus, tidak bisa dijadikan hujjah
dengan kesepakatan ulama’. Apabila ada dalil yang menerangkan berlaku umum,
maka bisa dijadikan hujjah sesuai dengan kebutuhannya.[12]
III. PENUTUP
Dari penjelasan di atas kita mengetahui
esensi syari’at umat terdahulu, yang kandungannya ada yang sama dengan apa yang
dibawa oleh Rasululloh dan diakui oleh al-Qur’an dan sunnah dan ada juga yang
berbeda dengan syari’at kita. syar’u man qablana dibagi menjadi 3 yaitu
: syari’at yang telah dinasakh, yang ditetapkan dan yang didiamkan (tidak
ditetapkan).
Para ulama’ menggunakan beberapa dalil
untuk membuat ketentuan dalam mencari kehujjahan dalil syari’at umat terdahulu.
Maka pada dasarnya syari’at yang ditetapkan kepada umat terdahulu dapat
dikatakan relatif atau partikuler yang wajib diikuti oleh umat Nabi Muhammad.
Maknanya berdasarkan kesepakatan ulama’ jika syari’at itu ditegaskan kembali
oleh Alloh dan Rasul-Nya, maka syari’at tersebut wajib diikuti.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hasani, Muhammad bin Musthafa
bin Utsman. 2016. Majami’ul Haqoiq Fii Ushul Fiqh. Beirut : Darul Kutub
Ilmiyah.
Al-Qur’anul
Karim
Az-Zuhaili,
Wahbah. 1999. Al-wajiz
Fii Ushul Fiqh. Beirut : Darul Fikr.
Khallaf, Abdul Wahab. 2013. Ilmu
Ushul Fiqh. Beirut : Darul Kutub Ilmiyah.
Sieny, Saeed Ismaeel. 2017. Ushul
Fiqih Aplikatif. Malang : Darul Ukhuwah Publisher.
Syarifuddin,
Amir. 2014. Ushul Fiqh. Jakarta :
Kencana.
Zahrah,
Muhammad Abu. 2016. Ushul
Fiqih.
Jakarta : Pustaka Firdaus.
[1]Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-wajiz Fii
Ushul Fiqh, (Darul Fikr : Beirut Libanon. 1999 M), hlm. 101
[2]Muhammad
bin Musthafa bin Utsman al-Hasani, Majami’ul Haqoiq Fii Ushul Fiqh, (Darul
Kutub Ilmiyah : Beirut Libanon. 2016), hlm. 114
[3]Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-wajiz Fii
Ushul Fiqh, (Darul Fikr : Beirut Libanon. 1999 M), hlm. 101
[4]Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Kencana : Jakarta. 2014 M), hlm. 437
[5] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Kencana : Jakarta. 2014 M), hlm. 438-439
[6]Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih,
(Pustaka Firdaus : Jakarta. 2016 M), hlm. 500
[7] Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-wajiz Fii
Ushul Fiqh, (Darul Fikr: Beirut Libanon. 1999 M), hlm. 102
[8] Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-wajiz Fii
Ushul Fiqh, (Darul Fikr: Beirut Libanon. 1999 M), hlm. 103
[9] Wahbah az-Zuhaili, Al-wajiz Fii Ushul
Fiqh, (Darul Fikr: Beirut Libanon. 1999 M), hlm. 104
[10] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Darul
Kutub Ilmiyah: Beirut Libanon. 2013 M), hlm. 71
[11] Dr.Saeed Ismaeel Sieny, Ushul Fiqih
Aplikatif, (Darul Ukhuwah Publisher: Malang . 2017 M), hlm. 80
[12] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih,
(Pustaka Firdaus : Jakarta. 2016 M), hlm. 500
