Selasa, 01 Mei 2018

makalah syar'u man qablana


SYAR’U MAN QABLANA
Makalah Ini Ditulis Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: Ustadz Fajrun Mustaqim,

 






     

Oleh : Shobrina Jamila
NIM : 017.012.0295

PROGRAM DIRASAH ISLAMIYAH JURUSAN FIKIH DAN USHUL FIKIH
MA’HAD ALY HIDAYATURRAHMAN
SRAGEN
2018


I. PENDAHULUAN


             Manusia diturunkan ke bumi oleh Alloh dan juga diciptakan oleh Alloh hanya untuk beribadah kepada-Nya. Alloh menurunkan syari’at Islam melalui perantara para Rasul-Nya. Syari’at yang dibawa Nabi Muhammad dalam hal aqidah sama dengan syari’at yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumya yaitu mentauhidkan Alloh Ta’ala. Akan tetapi dalam masalah fiqih ada yang berbeda dari syari’at sebelumnya. Syari’at sebelum umat Nabi Muhammad disebut juga syar’u man qablana.
            Dalam syari’at Islam terdapat dalil-dalil yang disepakati dan juga dalil-dalil yang diperselisihkan. Dalil yang disepakati oleh para ulama’ yaitu Al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Sedangkan dalil yang diperselisihkan oleh para ulama’ yaitu istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, syar’u man qablana, madzhab shahabi, sad adz-dzari’ah dan istishab. Syar’u man qablana termasuk dalil yang diperselisihkan oleh para ulama’.
Syari’at Nabi Muhammad atau syari’at Islam adalah syari’at yang paling sempurna. Namun masih menjadi pertanyaan apakah syari’at sebelum kita tetap menjadi hujjah dan masih berlaku bagi kita ataukah tidak ? Karena ada sebagian syari’at yang sama dari umat sebelum kita.    
            Kita masih perlu penjelasan yang lebih jelas tentang syar’u man qablana. Dalam makalah ini penulis akan membahas apa itu syar’u man qablana ? Ada berapa pembagiannya ? Bagaimana kehujjahannya sebagai dalil dalam syari’at Islam ?

II. PEMBAHASAN


1. DEFINISI SYAR’U MAN QABLANA


a.      Secara  Etimologi
Syar’u man qablana tersusun dari kata syar’u yang berarti syari’at, man qablana berarti umat sebelum kita. 
b.     Secara Terminologi
Syar’u man qablana  adalah hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Alloh kepada umat-umat sebelum kita melalui perantara nabi-nabi-Nya. Seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Dawud dan Nabi Isa ‘alaihimussalam.[1] Menurut Muhammad bin Musthafa, syar’u man qablana yaitu syari’at yang diceritakan oleh Alloh azza wa jalla atau dikabarkan oleh Rasululloh tanpa mengingkarinya, sebelum ada  yang menasakhnya.[2]

2. PEMBAGIAN SYAR’U MAN QABLANA


       Syar’u man qablana dibagi menjadi 2, yaitu[3] :
1.     Setiap hukum syari’at dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an maupun sunnah. Ulama’ sepakat ini bukan termasuk dari syari’at kita.
2.     Setiap hukum syari’at dari umat terdahulu yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan sunnah. Ini dibagi menjadi 3 macam :
a.      Hukum syari’at yang sudah dinasakh dalam syari’at kita. ulama’ juga bersepakat ini bukanlah termasuk dari syari’at kita. Contoh :
 وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ  (الانعام :١٤٦)  
Maka haram setiap yang memiliki kuku, dan setiap yang memiliki cakar dari jenis burung dan yang punya kuku dari jenis binatang ternak seperti unta, angsa dan itik. Haram juga lemak yang ada di perut atau usus. Syari’at kita menasakh hal tersebut yang terdapat dalam surat al-An’am :145. Contoh yang lain yaitu pengharaman ghanimah (harta rampasan yang diambil dari musuh karena sebab perang), dan hal tersebut dihalalkan dalam syari’at kita sebagaimana sabda Rasululloh : (أحلت لي الغنائم ولم تحل لأحد قبلي). Contoh lainnya yaitu membunuh dirinya sendiri sebagai bentuk taubat, memotong pakaian yang terkena najis untuk menyucikannya. Contoh itu semua telah dihapus dalam syari’at kita.
b.     Hukum syari’at yang ditetapkan dalam syari’at kita. Maka ini termasuk syari’at kita. Contoh : puasa sebagaimana firman Alloh dalam surat al-Baqarah : 183. Menyembelih qurban sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi Ibrahim.
c.      Hukum syari’at yang diceritakan oleh Alloh dalam al-Qur’an atau disebutkan Rasululloh. Syari’at ini tidak diingkari dan tidak juga ditetapkan sebagai syari’at kita. Seperti syari’at qishas kaum Yahudi yang terdapat dalam surat al-Maidah : 45. Syari’at pembagian jatah minum antara Nabi Sholeh dengan kaumnya yang terdapat dalam surat al-Qomar :28.

 3. PENDAPAT PARA ULAMA’ MENGENAI SYAR’U MAN QABLANA


       Setiap Rasul yang datang belakangan, di samping bertugas membawa syari’at yang baru untuk umatnya, juga melakukan semacam koreksi (penyempurnaan) dan pembatalan syari’at sebelumnya yang tidak diberlakukan lagi bagi umatnya. Hal ini berarti bahwa apa yang harus dijalankan umatnya, di antaranya ada yang sama dengan syari’at umat sebelumnya dan ada ketentuan syari’at yang baru sama sekali.[4]
       Nabi Muhammad sampai usia 40 tahun belum menerima risalah dari Alloh untuk diberlakukan bagi umatnya. Selama menjelang menerima risalah itu, apakah beliau beramal mengikuti syari’at sebelumnya atau tidak ? Dalam hal ini ulama’ ushul berbeda pendapat, yaitu :
1.     sebagian ulama’ termasuk Abu Husein al-Bashri, berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mengikuti syari’at manapun dari syari’at nabi-nabi sebelumnya ketika beliau menerima wahyu. Alasannya karena sekiranya Nabi Muhammad beramal dengan salah stu syari’at yang dibawa nabi dan rasul sebelumnya tentu akan ada penukilan dari beliau dan akan dikenal luas (populer) tentang beramal dengan syari’at itu, serta Nabi Muhammad sendiri akan bergabung dan berbaur sesama umat yang menjalankan syari’at tersebut. Hal yang demikian sama sekali tidak pernah dinukilkan , baik dari Nabi Muhammad sendiri maupun dari salah seorang umat yang syari’atnya diikuti oleh Nabi Muhammad.
2.     Sebagian ulama’ lain berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti salah satu syari’at yang dibawa oleh nabi dan rasul sebelumnya menjelang beliau menerima risalah. Alasannya ialah bahwa Nabi Muhammad sebelum menerima risalah telah thawaf di Baitullah, biasa makan daging kurban. Hal ini bukanlah suatu amalan yang dapat ditetapkan dengan akal. Dengan demikian mesti ada petunjuk wahyu yang diikuti beliau, yaitu syari’at dri nabi dan rasul terdahulu (sebelumnya).
Di kalangan ulama’ yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad mengikuti suatu syari’at sebelumnya berbeda pendapat dalam hal syari’at nabi yang diikutinya itu :
a.      ada yang menyatakan beliau mengikuti syari’at Nabi Nuh dengan alasan bahwa Nabi Nuh adalah nabi yang paling awal disebut membawa syari’at, sebagaimana yang terdapat dalam surat as-Syura’ : 13.
b.     Ada juga yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad mengikuti syari’at Nabi Ibrahim, karena Nabi Ibrahim adalah yang mengasaskan agama Islam sebagaimana firman Alloh dalam surat Ali Imran : 67. Juga terdapat suruhan untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim, dalam surat Ali Imran : 95.
c.      Ada juga yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti syari’at Nabi Musa, karena Nabi Musa adalah yang pertama disebut sebagai pembawa kitab.
d.     Ada juga yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti syari’at Nabi Isa, karena syari’at Nabi Isa itulah yang paling dekat kepada masa Nabi Muhammad, sekaligus mengoreksi syari’at sebelumnya.
3.     Pendapat ulama’ yang bersikap tawaqquf, dalam arti tidak menentukan sikap tentang apakah nabi menjalankan syari’at yang dibawa nabi dan rasul sebelumnya atau tidak, meskipun ada kemungkinan masih berlakunya syari’at lama tersebut. Pendapat ini adalah yang terpilih menurut al-Amidi dan Qadhi Abdul Jabbar dan ulama’ lain yang sependapat (muhaqqiq).[5]
Keterangan tentang keharusan mengikuti ajaran para Nabi dan kesatuan syari’at samawi hanyalah terbatas pada masalah yang menyangkut dasar-dasar agama (ushuluddin) seperti pengesaan Tuhan (tauhid), kepada malaikat, hari kiamat dan hari bangkit. Kami cenderung untuk mengatakan bahwa syari’at umat terdahulu seharusnya tidak menjadi topik pembahasan yang menimbulkan perselisihan pendapat ulama’. Sebab setiap perkara yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan disebutkan oleh hadits sebagai hukum syar’i yang berlaku khusus untuk sebagian umat masa lampau, pastilah didukung oleh adanya dalil yang menunjukkan kekhususan itu. Seperti yang terdapat dalam surat al-An’am ayat 146, atau ada dalil yang menunjukkan tetap berlakunya ketentuan hukum itu yang bersifat universal (umum) untuk segala zaman, seperti ayat tentang qishas.[6]

 4. KEHUJJAHAN SYAR’U MAN QABLANA


       Ulama’ berbeda pendapat dalam masalah kehujjahan syar’u man qablana. Menurut Jumhur Hanafiyyah, Malikiyyah, dan sebagian Syafi’iyyah dan Imam Ahmad dalam riwayat yang rojih mengatakan bahwa: benar syar’u man qablana itu menjadi syari’at kita atau berlaku juga bagi kita. Syariat terdahulu tersebut disampaikan melalui perantara wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad, bukan didapatkan dari kitab-kitab mereka yang sudah dirubah-rubah. Maka dari itu bagi mukallaf wajib mengamalkannya dan mengikutinya. Sebagaimana pendapat Hanafiyah bahwa membunuh dzimmi itu balasannya sama dengan membunuh seorang muslim, mereka menetapkan hukum tersebut berdasarkan surat al-Maidah : 45.[7]
       Menurut pendapat sebagian dari Syafi’iyyah yang rojih menurut mereka, dan menurut Asya’irah, Mu’tazilah dan Syi’ah bahwa syar’u man qablana bukan termasuk syari’at kita. Jadi syari’at sebelum kita tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan suatu hukum.[8]
       Alasan mereka mengemukakan pendapat seperti itu. Golongan (pendapat) yang pertama menggunakan hujjah : bahwa syari’at mereka juga termasuk syari’at kita yang d         iturunkan oleh Alloh sebelum ada dalil yang menghapus syari’at mereka. Jadi kita wajib mengamalkan syar’u man qablana. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala : “أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ” (al-An’am : 90), begitu juga firman-Nya dalam surat an-Nahl :123. Terdapat juga dalam surat as-Syura ayat 13 : “شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ”. Sungguh Ibnu Abbas ketika membaca surat Shad ayat 24 dan surat al-An’am ayat 90 beliau bersujud. 
       Ulama’ mengambil dalil bahwa wajibnya mengqadha’ sholat fardhu itu berdasarkan hadits dari Nabi : “ من نام عن صلاة أو نسيها، فليصلها إذا ذكرها” sebagaimana firman Alloh dalam surat Thaha ayat 14 : (وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي). Ayat tersebut perkataan Nabi Musa. Nabi Muhammad merujuk ke kitab Taurat dalam masalah rajamnya Yahudi yang berzina dan ia muhshon.
Para fuqoha’ mengambil dalil bolehnya membagi harta orang yang bekerja sama dengan cara muhaya’ah zamaniyah (mengganti pengambilan manfaat  dengan sesuatu dalam waktu tertentu). Sebagaimana firman Alloh Ta’ala dalam surat al-Qamar ayat 18, seperti syari’atnya Nabi Sholeh. Mereka juga mengambil dalil bolehnya ju’alah (janji memberikan hadiah tertentu atas pekerjaannya). Sebagaimana kisahnya Nabi Yusuf dalam surat Yusuf : 72. Contoh lainnya Hanabilah mengambil hujjah bolehnya menjadikan jasa sebagai mahar dalam surat al-Qashash ayat 27, syari’atnya Nabi Syu’aib.
Golongan (pendapat) yang kedua atau yang menolak mengambil hujjah dalam surat Al-Maidah : 48 (لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا). Artinya dari ayat tersebut adalah Alloh menjadikan syari’at tersendiri bagi setiap umat-Nya. Mereka berkata : syari’at kita itu sebagai nasakh syari’at yang terdahulu secara ijma’, kecuali dalam syari’at kita ada dalil yang menetapkannya.[9]
Sebagai jawaban dari pendapat yang menolak yaitu bahwa syari’at kita sebagai nasakh itu ketika berbeda saja. Karena sesungguhnya al-Qur’an menceritakan kepada kita hukum syar’i yang terdahulu. Adapun jika ada syari’at yang didiamkan tanpa ada nasakh maka ia termasuk juga syari’at kita, karena ia itu termasuk hukum ilahi yang disampaikan oleh Rasululloh kepada kita. Al-Qur’an juga membenarkan yang ada di tangan-tangan mereka seperti Taurat dan Injil, dengan dalil ditetapkannya qishas dan had zina dan pencuri, dll. Kebanyakan para penulis merojihkan pendapat yang pertama.[10]
Kita tidaklah diperintahkan untuk melaksanakan syari’at tersebut meskipun boleh mengambil faedah darinya, selama tidak ada sedikitpun pembicaraan tentang masalah tersebut dalam kitab maupun sunnah terlebih lagi apabila dalam kitab dan sunnah, terdapat ajaran yang bertentangan, maka berarti kita diperintahkan untuk tidak mengikutinya.
Adapun jika syar’u man qablana ada dalam syari’at Islam, maka berarti wajib diikuti bukan karena ia merupakan syar’u man qablana, tapi diwajibkan karena al-Qur’an dan sunnah. Puasa misalnya, diwajibkan atas orang-orang sebelum kita, meskipun caranya tidak diketahui dan Alloh juga mewajibkan terhadap kita.[11]
Berdasarkan istiqra’ (penelitian) terhadap nash-nash Al-Qur’an maupun hadits, ternyata tidak ditemukan satu nash pun yang mengangkat cerita umat terdahulu tanpa dilengkapi dengan ketentuan hukum yang terkandung dalam cerita itu khusus atau umum. Jika memang demikian halnya, maka perselisihan ulama’ tersebut seharusnya tidak terjadi. Sebab syari’at terdahulu jika ada dalil yang menerangkan berlaku khusus, tidak bisa dijadikan hujjah dengan kesepakatan ulama’. Apabila ada dalil yang menerangkan berlaku umum, maka bisa dijadikan hujjah sesuai dengan kebutuhannya.[12]

III. PENUTUP

       Dari penjelasan di atas kita mengetahui esensi syari’at umat terdahulu, yang kandungannya ada yang sama dengan apa yang dibawa oleh Rasululloh dan diakui oleh al-Qur’an dan sunnah dan ada juga yang berbeda dengan syari’at kita. syar’u man qablana dibagi menjadi 3 yaitu : syari’at yang telah dinasakh, yang ditetapkan dan yang didiamkan (tidak ditetapkan).
       Para ulama’ menggunakan beberapa dalil untuk membuat ketentuan dalam mencari kehujjahan dalil syari’at umat terdahulu. Maka pada dasarnya syari’at yang ditetapkan kepada umat terdahulu dapat dikatakan relatif atau partikuler yang wajib diikuti oleh umat Nabi Muhammad. Maknanya berdasarkan kesepakatan ulama’ jika syari’at itu ditegaskan kembali oleh Alloh dan Rasul-Nya, maka syari’at tersebut wajib diikuti.
        



DAFTAR PUSTAKA


Al-Hasani, Muhammad bin Musthafa bin Utsman. 2016. Majami’ul Haqoiq Fii Ushul Fiqh. Beirut : Darul Kutub Ilmiyah.
Al-Qur’anul Karim
Az-Zuhaili, Wahbah. 1999. Al-wajiz Fii Ushul Fiqh. Beirut : Darul Fikr.
Khallaf, Abdul Wahab. 2013. Ilmu Ushul Fiqh. Beirut : Darul Kutub Ilmiyah.
Sieny, Saeed Ismaeel. 2017. Ushul Fiqih Aplikatif. Malang : Darul Ukhuwah Publisher.
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana.
Zahrah, Muhammad Abu. 2016. Ushul Fiqih. Jakarta : Pustaka Firdaus.




[1]Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-wajiz Fii Ushul Fiqh, (Darul Fikr : Beirut Libanon. 1999 M), hlm. 101

[2]Muhammad bin Musthafa bin Utsman al-Hasani, Majami’ul Haqoiq Fii Ushul Fiqh, (Darul Kutub Ilmiyah : Beirut Libanon. 2016), hlm. 114
[3]Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-wajiz Fii Ushul Fiqh, (Darul Fikr : Beirut Libanon. 1999 M), hlm. 101
[4]Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,  Ushul Fiqh, (Kencana : Jakarta. 2014  M), hlm. 437

[5] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,  Ushul Fiqh, (Kencana : Jakarta. 2014  M), hlm. 438-439

[6]Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pustaka Firdaus : Jakarta. 2016 M), hlm. 500

[7] Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-wajiz Fii Ushul Fiqh, (Darul Fikr: Beirut Libanon. 1999 M), hlm. 102

[8] Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-wajiz Fii Ushul Fiqh, (Darul Fikr: Beirut Libanon. 1999 M), hlm. 103

[9] Wahbah az-Zuhaili, Al-wajiz Fii Ushul Fiqh, (Darul Fikr: Beirut Libanon. 1999 M), hlm. 104

[10] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Darul Kutub Ilmiyah: Beirut Libanon. 2013 M), hlm. 71

[11] Dr.Saeed Ismaeel Sieny, Ushul Fiqih Aplikatif, (Darul Ukhuwah Publisher: Malang . 2017 M), hlm. 80
[12] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pustaka Firdaus : Jakarta. 2016 M), hlm. 500

1 komentar:

Muhasabah Diri (محاسبة النفس)

بسم الله الرّحمن الرّحيم “ محاسبة النفس ” ا لمقدمة           الحَمْدُ للهِ مُصَرِّفِ الأَحْوَالِ وَالأَوقَاتِ ، وَمُقَدِّرِ الأَيَّا...